Stigma adalah ketika seseorang memandang kita secara negatif karena kita memiliki ciri khas atau sifat pribadi yang dianggap, atau sebenarnya, merugikan (stereotip negatif). Sayangnya, sikap dan keyakinan negatif terhadap orang yang memiliki kondisi kesehatan mental adalah hal biasa. Stigma dapat menyebabkan diskriminasi.
Dimana makna diskriminasi mungkin terlihat jelas dan langsung, seperti seseorang memberikan komentar negatif tentang penyakit mental atau perawatan yang kita lakukan. Atau mungkin tidak disengaja atau tidak kentara, seperti seseorang menghindari kita karena orang itu menganggap kita tidak stabil, kasar, atau berbahaya karena penyakit mental kita. Hal tersebut tentunya dapat membawa dampak berbahaya yang mencakup keengganan untuk mencari bantuan atau pengobatan, kurangnya pengertian dari keluarga, teman, rekan kerja atau orang lain, dan lain-lain.
Stigma
Stigma melibatkan sikap negatif atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan karakteristik pembeda seperti penyakit mental, kondisi kesehatan, atau kecacatan. Stigma sosial juga dapat dikaitkan dengan karakteristik lain termasuk jenis kelamin, seksualitas, ras, agama, dan budaya.
Sayangnya, stigma seputar kesehatan mental masih sering terjadi. Meskipun stigma tidak terbatas pada kondisi mental, sikap terhadap penyakit kejiwaan cenderung lebih negatif daripada sikap terhadap kondisi medis.
Dari segi historis, penyakit mental memiliki sejarah panjang dalam masyarakat di seluruh dunia. Dari yang dianggap sebagai tanda setan hingga dianggap sebagai hukuman moral, ideologi seputar etiologi penyakit mental sangat beragam.
Akibatnya, pengobatan secara historis tidak selalu masuk akal secara ilmiah dan brutal serta tidak manusiawi. Kembali ke zaman Neolitik, trephining, misalnya, melibatkan pembuatan lubang di tengkorak seseorang untuk melepaskan roh-roh jahat. Pengobatan penyakit mental telah berkembang pesat sejak saat itu, tetapi bidang psikologi dan psikiatri relatif muda dan perjalanan masih panjang.
Stigma muncul karena rasa takut dan kurangnya pemahaman. Ini telah bertahan bahkan dengan pengetahuan yang lebih besar tentang sifat biokimia dan genetik dari kondisi yang berbeda. Representasi penyakit jiwa di media massa bisa menambah stigma. Seiring para ilmuwan terus mempelajari lebih lanjut tentang penyebab penyakit mental dan mengembangkan pengobatan yang efektif, stigma diharapkan akan menurun.
Pengertian Stigma
Stigma adalah stereotip negatif. Stigma adalah kenyataan bagi banyak orang dengan penyakit mental, dan mereka melaporkan bahwa cara orang lain menilai diri mereka adalah salah satu penghalang terbesar mereka untuk mencapai kehidupan yang lengkap dan memuaskan. Stigma berbeda dengan contoh diskriminasi. Seperti yang telah dikatakan bahwa stigma adalah stereotip negatif, sedangkan diskriminasi adalah perilaku yang dihasilkan dari stereotip negatif tersebut.
Diskriminasi merupakan perlakuan tidak adil karena identitas seseorang, yang meliputi ras, keturunan, tempat asal, warna kulit, suku, kewarganegaraan, kepercayaan, jenis kelamin, orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, usia, status perkawinan, status keluarga atau kecacatan, termasuk gangguan jiwa.
Tindakan diskriminasi dapat bersifat terbuka atau berbentuk diskriminasi sistemik (terselubung). Seringkali, individu dengan penyakit mental dihadapkan pada berbagai lapisan diskriminasi yang bersilangan sebagai akibat dari penyakit mental dan identitas mereka.
Pengertian Stigma Menurut Para Ahli
Adapun definisi stigma menurut para ahli, antara lain:
- Goffman (1959), Pengertian stigma adalah sebagai semua bentuk atribut fisik dan sosial yang dapat mengurangi identitas sosial seseorang, sehingga mendiskualifikasikan orang tersebut dari penerimaan orang lain.
- Mansyur (1997), Definisi stigma adalah sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.
- Scheid & Brown (2010), Stigma adalah sebagai fenomena yang terjadi saat seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi.
Jenis Stigma
Stigma yang terkait dengan penyakit mental dapat dibagi menjadi dua jenis:
- Stigma sosial, yang melibatkan sikap berprasangka buruk yang dimiliki orang lain seputar adanya penyakit mental.
- Stigma yang dipersepsikan sendiri, yang melibatkan stigma internal yang diderita oleh orang yang menderita penyakit mental.
Larson & Corrigan; Werner, Goldstein, & Heinik (2011) mengemukakan tiga jenis stigma, yaitu:
- Stigma struktural, yaitu stugma yang mengacu pada ketidakseimbangan dan ketidakadilan apabila dilihat dari lembaga sosial. Misalnya, stigma yang merujuk pada rendahnya kualitas perawatan yang diberikan oleh profesional kesehatan menjadi stigma individu atau kelompok.
- Stigma masyarakat, yaitu stigma yang menggambarkan reaksi atau penilaian negatif dari masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.
- Stigma oleh asosiasi, yaitu stigma yang berupa diskriminasi karena mempunyai hubungan dengan seorang individu yang terstigma.
Butt, et al (2010) mengemukakan tingkatan stigma yang bisa dibedakan menjadi empat, yaitu:
- Diri, yaitu berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang kita sebut stigmatisasi diri.
- Masyarakat, yaitu stigma yang berupa gosip, pelanggaran, dan pengasingan di tingkat budaya dan masyarakat.
- Lembaga, yaitu stigma yang berupa perlakuan preferensial atau diskriminasi dalam lembaga.
- Struktur, yaitu stigma pada lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta kolonialisme yang terus menerus mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.
Penyebab Stigma
Beberapa penyebab umum munculnya stigma diantaranya yaitu:
- Ketakutan
Ketakutan adalah penyebab umum stigma. Ini mungkin ketakutan tertular penyakit yang menular (atau dianggap begitu), seperti kusta, HIV/AIDS atau sebagian besar NTD. Dalam kasus kusta, mungkin ada ketakutan akan konsekuensi fisik yang ditimbulkan akibat kusta; dalam kasus HIV/AIDS, mungkin ketakutan akan kematian. Mungkin juga ketakutan terhadap orang yang dianggap berbahaya, seperti mereka yang memiliki penyakit mental.
Situasi yang tidak terduga juga dapat menyebabkan rasa takut, seperti dengan penderita epilepsi. Ketakutan dapat menimbulkan stigma di antara anggota masyarakat atau di antara petugas kesehatan, tetapi juga di antara orang yang terkena kondisi itu sendiri, yang mungkin takut menulari orang yang dicintai seperti anak-anak (misalnya melalui menyusui) atau anggota keluarga lainnya.
Mereka mungkin takut akan konsekuensi sosial dari pengungkapan kondisi mereka. Ini sebenarnya takut akan stigma. Hal ini biasa terjadi pada penderita kusta atau NTD lain yang menyebabkan cacat permanen dan dapat menimbulkan kecemasan.
- Ketidakmenarikan
Beberapa kondisi dapat menyebabkan orang dianggap tidak menarik, terutama dalam budaya di mana kecantikan luar sangat dihargai.
Dalam kasus tersebut, orang dengan gangguan yang terlihat pada wajah mereka, seperti yang mungkin terjadi pada leishmaniasis kulit, frambusia, ulkus Buruli atau kusta stadium lanjut, dapat ditolak hanya karena penampilan mereka.
- Asosiasi
Stigma dengan asosiasi juga dikenal sebagai ‘stigma simbolik’. Hal ini dapat terjadi jika kondisi kesehatan dikaitkan dengan suatu kondisi yang dianggap tidak diinginkan. Contohnya adalah kondisi yang terkait dengan pekerjaan seks komersial, penggunaan obat-obatan terlarang, orientasi seksual, kemiskinan atau kehilangan pekerjaan.
Suatu kondisi juga dapat menjadi lebih terstigmatisasi karena dikaitkan dengan kondisi lain. Contoh adalah tuberkulosis dan hubungannya dengan HIV/AIDS.
- Nilai dan keyakinan
Definisi nilai dan keyakinan juga memiliki pengaruh kuat dalam menciptakan atau mempertahankan stigma. Contohnya adalah keyakinan tentang penyebab suatu kondisi, seperti keyakinan bahwa penyakit mental atau kecacatan adalah kutukan ilahi atau disebabkan oleh dosa di kehidupan sebelumnya.
Demikian pula, persepsi bahwa kusta atau penyakit jiwa adalah keturunan yang dapat menyebabkan seluruh keluarga dicap oleh pergaulan. Budaya tertentu mungkin memiliki stereotip atau prasangka tertentu tentang orang dengan kondisi tertentu.
Stereotip semacam itu mungkin disadari atau tidak disadari. Ini mungkin menyangkut cara orang berperilaku, apakah mereka dapat diandalkan, setia, dan lain-lain. Berdasarkan ini, sikap negatif dapat menyebar ke seluruh masyarakat.
- Kebijakan atau undang-undang
Kebijakan tentang bagaimana dan di mana kondisi diperlakukan dapat menimbulkan stigma. Ini biasanya terlihat ketika ada pemisahan paksa atau perawatan orang yang terkena dampak di lokasi terpisah, seperti klinik kusta atau klinik untuk penyakit menular seksual yang terpisah dari bagian rumah sakit lainnya. Hari atau jam klinik khusus di bagian rawat jalan dapat memiliki konsekuensi yang sama.
Contoh lainnya adalah kebijakan imigrasi atau ketenagakerjaan yang mengharuskan orang dengan kondisi tertentu untuk menyatakan statusnya.
Hukum mungkin diskriminatif, mengizinkan perceraian dengan alasan pasangan memiliki atau mengembangkan kondisi kesehatan tertentu atau melarang orang dengan kondisi tertentu dari jabatan publik, pemilihan atau kepemilikan tanah.
Dampak Stigma
Konsekuensi stigma bisa sangat serius dan menghancurkan. Stigma menyebabkan kurangnya pemahaman dari orang lain. Stigma juga membawa konsekuensi yang lebih serius termasuk memicu ketakutan, kemarahan, dan intoleransi yang ditujukan kepada orang lain. Orang yang mengalami stigma lebih mungkin mengalami:
- Keengganan untuk mencari pengobatan
- Pengobatan tertunda, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
- Penolakan sosial, penghindaran, dan isolasi
- Kesejahteraan psikologis yang lebih buruk
- Pemahaman yang buruk di antara teman dan keluarga
- Pelecehan, kekerasan, atau penindasan
- Kualitas hidup yang buruk, kecacatan, dan peningkatan beban sosial ekonomi
- Meningkatnya perasaan malu dan keraguan diri
Untuk mengatasi dampak buruk tersebut, beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu:
- Dapatkan pengobatan. Kita mungkin enggan mengakui bahwa kita membutuhkan perawatan. Jangan biarkan rasa takut dicap sebagai penyakit mental menghalangi kita untuk mencari bantuan. Perawatan dapat memberikan bantuan dengan mengidentifikasi apa yang salah dan mengurangi gejala yang mengganggu pekerjaan dan kehidupan pribadi kita.
- Jangan biarkan stigma menciptakan keraguan dan rasa malu. Stigma tidak hanya datang dari orang lain. Kita mungkin secara keliru percaya bahwa kondisi kita adalah tanda kelemahan pribadi atau bahwa kita harus bisa mengendalikannya tanpa bantuan. Mencari konseling, mendidik diri sendiri tentang kondisi diri kita dan berhubungan dengan orang lain yang memiliki penyakit mental dapat membantu mendapatkan harga diri dan mengatasi penilaian diri yang merusak.
- Jangan mengisolasi diri sendiri. Jika kita menderita penyakit mental, kita mungkin enggan memberi tahu siapa pun tentang penyakit itu. Keluarga, teman, pendeta atau anggota komunitas kita dapat menawarkan dukungan jika mereka tahu tentang penyakit mental kita. Jangkau orang yang kita percayai atas kasih sayang, dukungan, dan pengertian yang kita butuhkan.
- Jangan menyamakan diri kita dengan penyakit kita. Kita bukan penyakit. Jadi, alih-alih menyebut diri kita “penderita skizofrenia”, katakan “Saya menderita skizofrenia”.
- Bergabunglah dengan kelompok pendukung. Beberapa kelompok lokal dan nasional, seperti National Alliance on Mental Illness (NAMI), menawarkan program lokal dan sumber daya internet yang membantu mengurangi stigma dengan mendidik orang yang memiliki penyakit mental, keluarga mereka, dan masyarakat umum.
- Dapatkan bantuan di sekolah. Jika kita atau anak-anak kita memiliki penyakit mental yang memengaruhi pembelajaran, cari tahu rencana dan program apa yang dapat membantu. Diskriminasi terhadap siswa karena penyakit mental merupakan pelanggaran hukum, dan pendidik di tingkat sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi diwajibkan untuk mengakomodasi siswa sebaik mungkin. Bicaralah dengan guru, profesor atau administrator tentang pendekatan dan sumber daya terbaik. Jika seorang guru tidak mengetahui tentang kecacatan siswa, hal itu dapat menyebabkan diskriminasi, hambatan belajar dan nilai yang buruk.
- Bicaralah melawan stigma. Pertimbangkan untuk mengungkapkan pendapat kita di berbagai acara, dalam surat kepada editor atau di internet. Ini dapat membantu menanamkan keberanian pada orang lain yang menghadapi tantangan serupa dan mendidik masyarakat tentang penyakit mental.
Contoh Stigma
Contoh bagaimana stigma berkembang meliputi:
- Penggambaran media di mana penjahat sering menjadi karakter dengan penyakit mental
- Stereotip yang merugikan orang-orang dengan penyakit mental
- Mengobati masalah kesehatan mental seolah-olah itu adalah sesuatu yang dapat diatasi orang jika mereka hanya “berusaha lebih keras” atau “keluar dari situ”
- Menggunakan frasa seperti “dia gila” untuk menggambarkan orang lain atau perilaku mereka
- Kostum Halloween yang menggambarkan orang dengan penyakit mental sebagai kekerasan dan berbahaya
Demikianlah artikel lengkap yang bisa kami kemukakan pada kalian tentang adanya pengertian stigma menurut para ahli, macam, faktor penyebab, dampak, dan contohnya yang ada di masyarakat. Semoga memberikan wawasan untuk semua kalangan yang membutuhkannya.