Politik etis yang dikenal dalam Bahasa Inggris ethische politiek hakekatnya adalah kebijakan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) selama empat dekade dari 1901 sampai pendudukan Jepang tahun 1942. Hal itu diumumkan oleh Ratu Belanda Wilhelmina bahwa Belanda memiliki tanggung jawab etis untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengumuman tersebut sangat kontras dengan doktrin resmi sebelumnya bahwa Indonesia adalah wilayah yang menghasilkan keuntungan.
Realitas sosial ini juga menandai dimulainya kebijakan pembangunan modern, sedangkan kekuatan dalam arti kolonialisme lainnya berbicara tentang misi peradaban, yang terutama melibatkan penyebaran budaya mereka kepada orang-orang terjajah. Kebijakan tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material, yang diupayakan melalui trilogi, yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Penerapan politik etis melalui trilogi tersebut memberikan dampak bagi bangsa Indonesia, salah satunya yaitu kemunculan kaum terpelajar.
Politik Etis
Belanda merasa mulai tertekanan karena perubahan dari kebijakan keuntungan sebelumnya yang diperoleh dari Bangsa Indonesia. Belanda merasa berhutang kepada Indonesia atas semua kekayaan yang berhasil diambilnya selama beberapa dekade sebelumnya. Kebijakan Etis atau yang kita kenal dengan istilah “politik etis” adalah hasil dari perasaan ini.
Dimulai dari tahun 1901 sampai dengan 1902 dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di koloni di atas keuntungan dengan berfokus pada tiga bidang utama pembangunan: edukasin, irigasi, dan transmigrasi.
Politik etis memang memiliki beberapa pencapaian, dan Belanda memang meningkatkan pengeluaran untuk kesehatan masyarakat sekitar sepuluh kali lipat tetapi pada akhirnya gagal. Sebagian kegagalan ini disebabkan oleh dampak pertumbuhan penduduk di Jawa, tetapi perlu juga dicatat bahwa pemerintah kolonial menekankan pembangunan ekonomi di atas kesejahteraan masyarakat umum.
Dalam arti pendidikan, politik etis tidak hanya gagal menjangkau mayoritas penduduk, tetapi harus diukur terhadap upaya rezim kolonial lainnya saat ini. Contoh terdekat yang bisa dibandingkan adalah Amerika di Filipina, yang jauh lebih berhasil memberikan pendidikan kepada penduduk lokal daripada pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Dilihatdari segi signifikansinya, di bidang pendidikan, meskipun politik etis tidak hanya gagal menjangkau sebagian besar penduduk, tapi kebijakan ini membantu melahirkan para pemimpin, seperti Sukarno, dari gerakan nasionalis Indonesia di masa depan. Dilihat dengan cara ini, politik etis memainkan peran yang signifikan jika tidak disengaja, dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia.
Pengertian Politik Etis
Politik etis adalah pemikiran progresif bahwa pemerintah Belanda mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kesejahteraan kepada penduduk Indonesia sebab sudah memberikan kemakmuran bagi masyarakat dan kerajaan Belanda.
Sehingga dalam hal ini politik etis merupakan kebijakan atau bisa disebut juga Kebijakan Etis Belanda adalah kebijakan resmi pemerintah kolonial Indonesia selama empat dekade dari 1901 sampai pendudukan Jepang tahun 1942. Kebijakan Etis Belanda menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material.
Akan tetapi, kebijakan tersebut menghadapi permasalahan seperti terjadinya kekurangan dana yang serius, ekspektasi yang membengkak dan kurangnya penerimaan dalam pembentukan kolonial Belanda, dan sebagian besar lenyap oleh permulaan Depresi Besar pada tahun 1930.
Pengertian Politik Etis Menurut Para Ahli
Adapun definisi politik etis menurut para ahli, antara lain:
- Encyclopedia Britannica, Politik etis dalam sejarah Indonesia adalah program yang diperkenalkan oleh Belanda di Hindia Timur pada pergantian abad ke-20 yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat adat Indonesia (Jawa).
Sejarah Politik Etis
Ketika garis perbatasan Hindia Belanda mulai membentuk Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat pengumuman dalam pidato tahunannya pada tahun 1901 yang menginformasikan bahwa kebijakan baru, “Politik Etis” akan diluncurkan.
Kebijakan tersebut (mengakui bahwa Belanda memiliki hutang kehormatan terhadap orang Indonesia) bertujuan untuk meningkatkan standar hidup penduduk asli. Cara untuk mencapai ini adalah intervensi langsung negara dalam kehidupan (ekonomi), yang dikembangkan di bawah slogan “edukasi, irigasi, dan transmigrasi”. Namun, pendekatan baru ini tidak terbukti berhasil dalam meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia.
Politik etis Belanda ini menyiratkan satu efek samping yang mendalam dan menjangkau jauh. Komponen pendidikannya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kebangkitan nasionalisme Pan-Indonesia dengan memberikan alat intelektual kepada orang Indonesia untuk mengatur dan mengartikulasikan keberatan mereka terhadap pemerintahan kolonial.
Politik etis memberi sejumlah kecil elit Indonesia gagasan politik Barat tentang kebebasan dan demokrasi. Untuk pertama kalinya penduduk asli Nusantara mulai mengembangkan kesadaran nasionalnya sebagai “orang Indonesia”.
Pada tahun 1908 mahasiswa di Batavia mendirikan perkumpulan Budi Utomo, masyarakat politik pribumi pertama. Peristiwa ini sering dianggap sebagai kelahiran nasionalisme bangsa Indonesia. Ini membentuk tradisi politik di mana kerjasama antara elit muda Indonesia dan pemerintah kolonial Belanda diharapkan mengarah pada perolehan kemerdekaan.
Latar Belakang Politik Etis
Beberapa hal yang melatarbelakangi kemunculan politik etis, diantaranya yaitu:
- Sistem tanam paksa menimbulkan penderitaan bagi rakyat Indonesia
- Sistem ekonomi liberal tidak dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat
- Belanda memberi penekanan dan penindasan kepada rakyat
- Rakyat kehilangan tanahnya
- Adanya kritik dari kaum intelektual yang berasal dari Belanda sendiri
Isi Politik Etis
Van Deventer menyatakan bahwa ada 3 cara untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang dinamakan Trilogi Van Deventer. Isi dari Trilogi tersebut yaitu:
-
Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan awalnya dilakukan pada sekolah kelas satu yang diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan orang yang memiliki kedudukan atau berharta. Tahun 1903 ada 14 sekolah kelas satu yang berkedudukan di Ibukota Karesidenan dan 29 di Ibukota Afdeling. Adapun mata pelajaran yang diajarkan seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah dan menggambar.
Pendidikan kelas dua diperuntukkan khusus bagi anak-anak pribumi yang memiliki golongan bawah. Pada tahun 1903 di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir antara lain 63 dari Zending.
Pada tahun 1892, jumlah muridnya yaitu sebanyak 50.000. Pada tahun 1902 ada 1.632 anak pribumi yang belajar di sekolah Eropa. Terdapat tiga sekolah Osvia yang ditujukan untuk menghasilkan calon-calon pamong praja, yang masing-masing sekolah tersebut berada di Bandung, Magelang, dan Probolinggo.
-
Irigasi (Pengairan)
Irigasi atau pengairan merupakan sarana yang sangat penting untuk pertanian. Sistem ini oleh pihak pemerintah sejak 1885 dengan luas 96.000 bau untuk irigasi Berantas dan Demak. Kemudian tahun 1902 luasnya bertambah menjadi 173.000 bau. Melalui irigasi tersebut tanah pertanian akan menjadi subur dan produksinya bertambah
-
Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)
Program transmigrasi membawa dampak positif pada terkelola atau terolahnya tanah-tanah di luar Jawa yang pada awalnya belum diolah menjadi lahan perkebunan. Melalui kegiatan pengolahan lahan tersebut akan diperoleh penghasilan. Selain itu, transmigrasi juga dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pengurangan kepadatan penduduk Jawa.
Pada tahun 1865 jumlah total penduduk Jawa dan Madura sebanyak 14 juta jiwa. Kemudian pada tahun 1900 mengalami peningkatan menjadi dua kali lipat. Pada abad ke-19 terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur¸yang dikaitkan dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembak.
Migrasi penduduk dari Pulai Jawa ke Sumatra Utara disebabkan karena ada permintaan besar terhadap tenaga kerja perkebunan yang ada di Sumatra Utara terutama di Deli, sedangkan yang bermigrasi ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.
Tujuan Politik Etis
Politik etis bertujuan untuk memajukan tiga bidang yaitu edukasi yang dilakukan dengan mengadakan pendidikan, irigasi yang dilakukan dengan membuat sarana dan jaringan pengairan, dan transmigrasi yang dilakukan dengan mengorganisasi perpindahan penduduk, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Politik etis yang dijalankan Belanda melalui perbaikan pada bidang edukasi, irigasi, transmigrasi apabila dilihat sekilas memang tampak mulia, tapi dibalik semua itu, tujuan program-program tersebut mengarah pada kepentingan Belanda sendiri.
Dampak Politik Etis Bagi Bangsa Indonesia
Beberapa dampak diberlakukannya politik etis bagi bangsa Indonesia, diantaranya yaitu:
- Pembangunan infrastruktur seperti pembuatan rel kereta api memudahkan perpindahan barang dan manusia menjadi lancar.
- Keberadaan sekolah-sekolah tersebut memunculkan kaum terpelajar atau cendekiawan yang menjadi pelopor Pergerakan Nasional, misalnya Soetomo Mahasiswa STOVIA yang mendirikan Organisasi Budi Utomo.
- Pembangunan infrastruktur pertanian yang dalam hal ini adalah bendungan bermanfaat dalam pengairan.
- Berdirinya sekolah-sekolah seperti:
- Hollandsc Indlandsche School (HIS) yang setara Sekolah Dasar (SD)
- Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs (MULO) yang setara Sekolah Mengenah Pertama (SMP)
- Algemeene Middlebare School (AMS) yang setara Sekolah Mengenah Umum (SMU)
- Kweek School (Sekolah Guru) yang diperuntukkan bagi kaum bumi putra
- Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik)
- School Tot Opleiding Van Indische Artsen atau disingkat STOVIA yang merupakan sekolah kedokteran
Nah, itulah tadi artikel yang bisa kami kemukakan pada segenap pembaca berkenaan dengan pengertian politik etis menurut para ahli, sejarah, latar belakang, isi, tujuan, dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia. Semoga memberikan wawasan untuk semuanya.